Tafsir dan Ta’wil
Tafsir berasal dari akar kata ‘fassara’ yang artinya menjelasakan atau menginterpretasikan.
Ta’wil berasal dari ‘awwala‘ juga berarti menjelaskan atau mengintepretasikan.Bedanya tafsir untuk menjelaskan arti lahiriah. Sedangkan ta’wil menjelaskan hakekat.
Pentingnya Mempelajari Tafsir
Ada sejumlah alasan perlunya mempelajari tafsir, alasan utamanya adalah: karena Allah telah menurunkan Quran sebagai sebuah kitab untuk membimbing manusia. Manusia ingin beribadah kepada Allah untuk mencari keridhaanNya dengan beribadah menurut cara yang diperintahkan Allah. Manusia akan melaksanakan perintah-perintaah Allah hanya bila ia telah paham makna dan akibat-akibatnya.
Peringatan
Beberapa cendekiawan Muslim memperingatkan tentang tafsir. Ahmad bin Hanbal misalnya berkata: tiga hal yang tak punya landasan: tafsir, malahim (dongeng tentang alam) dan magahazi (dongeng perang). Ini mengindikasikan bahwa banyak terdapat keterangan dalam ilmu tafsir yang tidak dapat dipercaya, namun tidak berarti keterangan-keterangan itu tak dapat dipertimbangkan. Hal ini bisa dilakukan dengan catatan menggunakan isnad sebagai dasarnya.
Syarat-Syarat Utama
Para cendekiawan Muslim telah menggariskan beberapa syarat untuk melakukan tafsir. Setiap tafsir yang mengabaikan syarat-syarat ini harus dicermati sungguh-sungguh, atau bahkan ditolak semuanya. Syarat-syarat utamanya adalah sebagai berikut. Seorang mufasir haruslah
- Orang beriman.
- Menguasai dengan baik bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya.
- Memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu Quran (misalnya ilmu riwayat)
- Memiliki pengetahuan yang luas.
- Tidak semata-mata menggunakan pikiran.
- Memulai menafsirkan menggunakan Quran.
- Mencari penjelasan dari hadist-hadist Rasulullah.
- Menggunakan laporan atau berita dari para sahabat.
- Menggunakan laporan atau berita dari para tabiun.
- Berkonsultasi dengan cendekiawan lain.
Tingkatan-Tingkatan Rujukan
Tafsir terbaik adalah menjelaskan Quran dengan Quran
Urutan berikutnya adalah penjelasan Quran oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu orang yang, sebagaimana yang dikatakan imam Safei, berperilaku menurut Al-Quran
Bila tidak mendapatkan penjelasan dari sunah Nabi maka acuan berikutnya adalah para sahabat
Bila tidak menemukan penjelasan pada Nabi dan para sahabat, informasi berikutnya adalah para tabiun
Jenis-Jenis tafsir
Tafsir dapat dibagi menjadi tiga kelompok dasar
- Tafsir bi-l-riwaya (penuturan), dikenal dengan tafsir bi-l-ma’thur
- Tafsir bi-l-ra’y (pendapat) dikenal sebagai tafsir bi-l-diraya, berdasarkan pengetahuan
- Tafsir bi-l-ishara (tanda-tanda atau gejala)
Tafsir bi-l-riwaya
Di tafsir ini semua penjelasan Quran dapat ditelusuri melalui rantai penuturan oleh:
- Quran sendiri
- Penjelasan Nabi
- Penjelasan para sahabat
Lazimnya penjelasan Quran dari Quran dan Nabi adalah dua sumber tertinggi yang tidak dapat ditandingi oleh sumber-sumber lainnya. Selanjutnya adalah penjelasan para sahabat, karena para sahabat yang menyaksikan ayat-ayat Quran diturunkan, para sahabatlah yang ditarbiyah oleh Nabi, dan para sahabatlah yang paling dekat dengan generasi pertama dari kaum Muslim. Sudah tentu semua penuturan dan penjelasan Nabi yang disampaikan oleh sahabat harus didasarkan pada ilmu riwayat yaitu ulum al-hadist.
Quran dijelaskan Quran Intepretasi Quran oleh Quran adalah acuan tertinggi ilmu tafsir. Banyak pertanyaan yang muncul dari pesan-pesan Quran penjelasannya dijumpai di bagian lain dari Quran, sehingga tidak diperlukan penjelasan lain selain Quran, karena dengan demikian Quran telah memiliki penafsirannya sendiri. Mencari penjelasan sebuah ayat Quran menggunakan ayat lain dalam Quran adalah pekerjaan utama dan paling penting para mufasir. Bila ini tidak berhasil sang mufasir akan merujuk pada sumber-sumber lain.
Beberapa Contoh
Contohnya adalah penjelasan ayat 2 surat Al-Maidah (5:2) oleh ayat 5:4, tentang makanan yang boleh dan diharamkan. Contoh lainnya adalah ayat 44:3 dijelaskan oleh ayat 97:1.
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi (44:3)
Pada malam apakah malam yang diberkahi itu, ketika Quran diturunkan?
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. (97:1)
Contoh ketiga adalah penjelasan ayat 2:37 dengan ayat 7:23
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (2:37)
Apa yang dimaksud beberapa kalimat dari Tuhannya? Penjelasannya ada pada ayat 7:23 yang berbunyi:
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (7:23)
Quran dijelaskan Rasulullah. Ada banyak contoh penjelasan ayat-ayat Quran yang dijelaskan Rasulullah, ketika beliau ditanya oleh malaikat Jibril tentang hal-hal yang tidak diketahuinya, atau ditanya oleh para sahabat. Imam Suyuti menginformasikan banyak ayat-ayat yang dijelaskan oleh Rasulullaah.
Salah satu contohnya adalah sebagai berikut.
..makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.. (2:187)
Diriwayatkan oleh Adi bin Hatim: Saya bertanya “Ya Rasulullah apa yang dimaksud dengan hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam?” Beliau berkata: “Apakah Anda tidak tahu, Anda pikir melihat benang?”. Beliau melanjutkan, “Bukan itu maksudnya, itu artinya malam ketika gelap dan pagi ketika terang”.
Tafsir Oleh para Sahabat
Setelah penjelasan Quran oleh Quran dan penjelasan Quran oleh Rasulullaah, rujukan berikutnya dalah para sahabat. Di kalangan para sahabat terdapat orang-orang yang yang karena kepandaiannya memiliki kontribusi pada ilmu tafsir. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali ( tidak banyak penjelasan yang mereka sampaikan), Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Ansahori, Abdullaah bin Zubair.
Ibnu Abbas: Abdullah b. Abbas (meninggal 68 H/687M) dipandang merupakan orang yang paling mengetahui tentang tafsir. Beliau terkenal dengan sebutan Tarjuman al-Quran, sang penafsir Quran. Sejak beliau memiliki kekrabatan dengan Rasulullaah, menjadi keponakannya karena bibinya Maimuna menjadi salah sorang istri Rasulullah, beliau sangat dekat dengan Nabi dan banyak mempelajari wahyu Quran. Beliau dikabarkan melihat dua kali malaikat Jibril. Di samping memiliki banyak pengetahuan tentang wahyu, Ibnu Abbas berjasa atas salah satu prinsip dasar Ilmu Tafsir yang sampai sekarang masih berlaku, yaitu makna beberapa kata Quran yang digunakan pada masa-masa puisi pra-Islam. Terdapat sederetan panjang kata-kata itu yang dikutip oleh Suyuti.
Contoh-Contoh
Berikut contoh tafsir dari sahabat Ibnu Abbas, ditegaskan oleh Umar, tentang ayat
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat. (110:3)
Dituturkan oleh Ibnu Abbas: “Umar mempersilakan aku duduk bersama orang-orang yang pergi ke peperangan Badar. Beberapa di antara mereka tampaknya tidak suka dan berkata kepada Umar: “mengapa Anda membawa anak kecil ini duduk bersama kami, padahal kami pun punya anak seperti dia?” Umar menjawab “Karena kedudukan dia” (yang dimaksud adalah pengetahuan agamanya)
Suatu hari Umar memanggilku dan menyuruhku duduk bersama laki-laki itu, dan saya pikir Umar memanggilku untuk ditunjukkan kepada mereka (memperlihatkan ilmuku). Umar kemudia bertanya kepada mereka: “Apa pendapatmu tentang maksud firman Allah”
“Ketika telah datang pertolongan Allah, dan kemenangan…” (110:1)
Beberapa diantara mereka berkata: “Kita diperintahkan oleh Allah dan memohon ampun kepadaNya, ketika pertolongan Allah dan penaklukan (kota Mekah) datang kepada kita”. Beberapa orang tetap diam dan tidak bersuara sedikitpun. Kemudian Umar bertanya padaku: “Apakah pendapatmu sama dengan mereka ya Ibnu Abbas?” Aku menjawab: “Tidak”. Umar melanjutkan: “Lalu apa pendapatmu?” Aku menjawab: “Itu adalah tanda-tanda kematian untusan Allah di mana Allah telah menyampaikan dengan firmanNya” “(Ya Muhammad) Apabila telah datang pertolongan Allah (untuk melawan musuh-musuhmu) dan kemenangan (atas kota Mekah) (itulah tanda-tanda kematianmu) – kamu sekalian harus bertasbih kepada Tuhanmu dan mohon ampun kepadaNya, dan hanya dialah yang dapat menerima pemaafan dan pengampunan (pertobatan)” (110:1-3). Selanjutnya Umar berkata: “Aku tidak mengetahui sebelumnya tentang itu selain yang baru engkau katakan”
Contoh lain
Dituturkann oleh ‘Ata: ketika Ibnu Abbas mendengar:
“Apakah engkau tidak melihat orang-orang yang menukar keimanan dengan kekafiran?” (14:38)
Dia berkata: “Itu artinya penduduk kafir Mekah”
Tafsir oleh Tabiun
Banyak sekali tabiun yang menguasai tentang tafsir, karena banyak yang telah memeluk Islam dan berkeinginan mempelajari Islam. Padahal saat itu Rasulullah telah tiada dan para sahabat banyak pula yang telah wafat sehingga tidak ada yang membimbing, oleh karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mmemenuhi kebutuhan memahami Quran.
Berdasarkan asal dan luasnya aktivitas, para mufasir di kalangan tabiun terbagi menjadi tiga kelompok:
-
Tabiun Mekah
-
Tabiun Madinah
-
Tabiun Iraq
Kelompok Mekah: Menurut banyak cendekiawan, para mufasir tabiun dari kelompok Mekah lebih mengetahui ilmu tafsir dibanding kelompok lainnya, sebabnya mereka belajar langsung dari Abdullah bin Abbas. Beberapa diantaranya adalah Mujahid (wafat 104/722), Ata’ (wafat 114/732), dan Ikrima (wafat 107 H). Mujahid merupakan yang terbaik, diberitakan bahwa beliau sangat luar biasa mendalami Quran pada Ibnu Abbas sampai-sampai menanyakan kapan dan bagaimana tiap ayat diturunkan. Tafsir lengkap karangan Mujahid telah dipublikasikan. Tafsirnya dicetak berdasarkan manuskrip dari abad ke-6 Hijriah dan edit oleh Surti.
Contoh:
Humaid bin Qais Makki menuturkan: Aku bersama Mujahid sedang tawaf di Ka’bah. Seorang laki-laki datang dan bertanya apakah berpuasa Qadha harus dilakukan terus menurus tanpa putus ataukah boleh putus-putus. Humaid menjawab bahwa bila dia suka di boleh berpuasa putus-putus! Tetapi Mujahid berkata: Tidak boleh putus-putus, menurut Ubay bin Kaab adalah tsalatsi mutatabi’at, berpuasa tiga hari bertutut-turut.
Kelompok Madinah: Mufasirun dari Madinah terdiri para sahabat Nabi sebagaimana guru mereka, diantaranya yang sangat terkenal adalah Ubay bin Kaab. Beberapa penafsir yang lain seperti: Muhammad bin Kaab al-Qarzi (w. 117 H/735), Abu-l ‘Alliya al-Riyahi (w. 90 H/708) dan Zaid bin Azam (wafat 130 H/747).
Kelompok Iraq: Banyak juga mufasirun tabiun yang berasal dari Iraq. Guru besarnya adalah Ibnu Masud. Pusatnya berada di Basra dan Kuffa. Mufasir terkenal dari kelompok ini adalah: Al-Hasan al-Basri (w. 121 H/738 ), Masruq bin al-‘Ajda (w. 63 H/682) dan Ibrahim al-Nakhai (w. 95/713)
Ikhtisar
TIdak ada yang dapat menandingi kedudukan utama tafsir Quran oleh QUran. Di urutan selanjutnya adalah penjelasan Nabi tentang turunnya ayat-ayat Quran.
Bagaimanapun kwalitas tafsiran para sahabat dan tabiun hal itu tidak dapat diabaikan, tetapi beberapa prinsip berikut harus diperhatikan:
- Laporan atau penuturan harus dapat dibedakan antara yang kuat dan lemah, beberapa pendapat yang keliru telah dinisbatkan pada beberapa sahabat dan tabiun (khususnya Ibnu Abbas dan Mujahid, mereka adalah para pakar) padahal setelah isnadnya diteliti pendapat itu bukanlah berasal dai mereka. Penuturan ini sudah tentu harus ditolak.
- Keterangan-keterangan dari ahlul kitab, khususnya dari yahudi (israilyat) harus dicermati.
- Keterangan yang dihasilkan dari pemikiran filasafat, politik, dan lain sebagainya, harus dicermati dan dikritisi (misalnya Shiah dinisbatkan pada Ali atau Abbasiah dinisbatkan pada Ibnu Abbas, dan sebagainya)
- Keterangan sesat yang dengan sengaja diciptkan oleh musuh-musuh Islam harus dikeluarkan dari sumber keterangan.
Tafsir bi’l-ra’y
Jenis tafsir kedua, setelah tafsir bi’l-riwaya, disebut juga tafsir bi’l-ra’y. Tafsir ini tidak didasarkan pada rangkaian penuturan dari orang-orang sebelumnya, melainkan hanya menggunakan argumentasi akal dan ijtihad.
Tafsir bi’l-ra’y tidak semata-mata menafsirkan berdasarkan pendapat pribadi melainkan berdasarkan ijtihad menggunakan sumber-sumber informasi yang terpercaya. Kalau sebelumnya penafsiran tidak menggunakan hadist, maka di tafsir ini penggunaan hadist sangat diperhatikan, ini yang disebut dengan ijtihad, dan ini telah disetujui oleh Rasulullah, misalnya ketika Muadz bin Jabal dikirim ke Yaman.
Akan tetapi tafsir bi’l-ra’y sebagian orang menganggapnya haram berdasar hadist:
Dari Ibnu Abbas: Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang menagatakan sesuatu tentang Quran tanpa ilmu pengetahuan, maka bersiaplah duduk di api neraka”.
Namun demikian ada penjelasan hadist ini memiliki dua pengertian:
- Seseorang tidak boleh berpendapat tentang Quran bila tidak dijumpai keterangan dari sahabat maupun dari tabiun
- Seseorang tidak boleh berpendapat tentang Quran bila pendapatnya bertentangan dengan Quran.
Maksud sesunggauhnya dari hadist itu adalah seseorang tidak boleh mengatakan sesuatu tentang Quran kalau dia tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni, berbagai sumber telah menjelasakannya.
Dua macam tafsir bil-ra-y: dalam hal ini tafsir bi’l-ra’y tidak begitu saja ditolak, tafsir ini masih bisa diterima bila didasarkan pada ijtihad. Para ulama membedakan tafsir bi’l-ra’y kedalam dua jenis:
Tafsir mahmud (mengandung kebenaran), karena sesuai dengan sumber-sumber hadist, syariah, dan kaidah bahasa Arab.
Tafsir madhmum (mengandung kesalahan), disebabkan penafsirannya tidak dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang sumber-sumber tafsir, syariat, dan tanpa menggunakan kaidah bahasa Arab yang benar. Ini hanya didasarkan pada pendapat sehingga harus ditolak.
Para sahabat atau tabiun berpendapat: ketika tafsir bi’l-ra’y didasarkan pada sumber-sumber terpercaya berarti bisa diterima, dilaporkan bahwa seorang sahabat terkenal menolak memberikan penjelasan mereka sendiri yang didasarkan pada pendapat semata-mata:
Dilaporkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Abbas tentang hari (yang disebut dalam Quran) yang lamanya 50 tahun, maka ibnu Abbas menjwab: “Ada dua hari yang disebutkan Allah dalam kitab-Nya, dan Allah yang Maha mengetahui keduanya”, maka Ibnu Abbas tampak tidak menyukainya karena berhubungan dengan kitab Allah, dimana diapun tidak mengetahuinya.
Sikap yang sama ditunjukkan oleh para tabiun
“Kami biasanya bertanya pada al-Musayyib tentang halal dan haram, karena dia salah seorang yang pandai, tetapi ketika kami menanyakan tentang tafsir Quran, dia tetap diam seribu bahasa seakan-akan dia tuli. “
Ikhtisar
Beberapa ulama berpendapat tafsir bi’l-ra’y tidak diijinkan karena tidak dapat ditelusuri kebenarannya secara langsung melalui Nabi atau sahabat. Ulama lain berpendapat membolehkannya dengan syarat-syarat yang disebutkan di atas, yang diupayakan dengan ijtihad, berdasarkan sumber-sumber terpercaya, yang memungkinkan diperolegnya pengetahuan.
Tafsir bi-l-ishara
Metoda tafsir ini berusaha mengintepretasikan Quran melebihi makna yang terkandung di dalamnya, dan dan dalam praktiknya orang melekatkan intepretasinya itu pada ayat-ayat Quran, di mana orang lain tidak mengetahuinya kecuali dia sendiri karena mungkin Allah telah membukankan hatinya. Tafsir jenis ini sering berbau mistis tergantung penafsirnya. Walaupun demikian tak bisa disangkal bahwa Allah membimbing orang yang dikehendaki-Nya untuk memahami Quran, sehingga bisa dikatakan bahwa tafsir bi-l-ishara bukanlah didasarkan pada pengetahuan dan prinsip-prinsip tafsir, yang mungkin saja digunakan, yang merupakan cabang dari ulum al-Quran dan tafsir. Beberapa cendekiawan menolaknya ditinjau dari segi penerimaan umum dan mereka berpendapat itu semata-mata pendapat akal. Meskipun demikian Ibnu al-Qayyim dikabarkan mengatakan bahwa hasil dari tafsir bi-l-ishara dapat diterima dan berisi hal-hal yang bagus, bila empat prinsip berikut ditempuh:
- Tidak ada pertentangan makna dengan makna sederhana dari ayat.
- Memiliki makna tersendiri.
- Di dalam perkataannya (ayat) terdapat indikasi yang menuju ke arah yang dimaksud.
- Ada korelasi yang dekat antara interpreatasi itu dengan makna sederhana dari ayat.
Perbedaan Penafsiran
Dalam beberapa hal para mufasir tidak sependapat tentang intepretasi ayat-ayat Quran. Ada sejumlah atasan tentang hal ini, yang paling utama adalah sebagai berikut.
Tidak sependapat dengan isnad yang digunakan.
Penggunaan sumber-sumber yang tidak terpercaya, seperti israilyat.
Secara sadar melakukan salah inteprestasi, didasarkan pada kepercayaan atau adanya motif-motif tertentu.
Betul-betul salah secara menyeluruh.
Inteprestasinya didasarkan pada ketidak tahuan tentang koncep-konsep.
Beragam makna ketika diturunkannya wahyu.
Menurut Ibnu Taimiyah, penyebabnya karena orang suka mengada-ada (bidah) dan menelikung wahyu dari tempatnya, mengiteprestasikan firman Allah dan perkataan utusannya dengan cara salah, dan menjelaskan dengan makna lain yang menyimpang dari semestinya.
Israiliyat
Kata ini bermakna ‘berasal dari Yahudi’ yaitu merujuk penjelasan yang diambil dari golongan non-Muslim terutama dari kalangan Yahudi, tetpi juga termasuk ahl al-kitab pada umumnya. Informasi-informasi itu sangat sedikit digunakan oleh para sahabat Nabi, namun banyak diambil oleh para tabiun dan generasi berikutnya. Banyak hal dalam Quran yang dapat dijelaskan dengan menggunakan sumber-sumber israilyat, yaitu ketika ada hal-hal umum yang disebut dalam Quran tekait tradisi-tradisi. Akan tetapi penggunaan sumbernya harus betul-betul dicermati dan didasarkan pada ilmu al-hadist, atau ditelusuri lewat Nabi dan paea Sahabatnya. Nabi telah memperingatkan kaum Muslim tentang sumber israilyat ini:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah: Orang-orang Yahudi biasa menghafal Taurat dalam bahasa Hebrew dan menjelaskannya kepada kaum Muslim dengan bahasa Arab. Tentang hal ini Nabi bersabda: ‘Janganlah mempercayai mereka, tetapi katakanlah kami percaya kepada Allah dan apa yang diturunkan-Nya kepada kami ‘ (2:136).
Hal senada diungkapkan oleh Ibnu Masud, salah seorang sahabat terkenal: ‘Janganlah bertanya sedikitpun kepada ahl al-kitab (dalam penafsiran), karena mereka tak mampu dan mereka sendiri bermasalah…’
Oleh karena itu ada tiga ciri informasi israilyat:
- Diketahui kebenarannya karena wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad menegaskannya
- Diketahui kesalahannya, karena wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad menolaknya.
- Tidak diketahui kebenarannya atau kesalahannya, dan kita pun tak tahu benar salahnya.
Ikhtisar
Pendek kata tentang berbagai macam tafsir dapat dilihat dari kata-kata berikut yang disampaikan oleh Ibnu Abbas: Tafsir memiliki empat aspek:
Aspek bahasa Arab karena Quran berbahasa Arab
Tafsir, bagi yang tidak paham tidak akan bisa melakukannya,
Tafsir, diketahui oleh para ulama atau cendikiawan,
Tafsir, tak ada yang tahu kepastiannya kecuali Allah.
Dikutip dari: http://www.islamic-awareness.org/Quran/Tafseer/Ulum/
(bersambung)
Recent Comments