Agung Inspirasi

Visi-Visi Pencerahan

Humor Pelipur March 4, 2008

Jagad raya ini sebenarnya sederhana; yang rumit adalah penjelasannya.

Tak ada yang perlu ditakutkan di dunia ini, hanya perlu dipahami. (Marie Curie)

Bila kita tahu fenomena yang sedang terjadi ketika kita mengerjakan sesuatu berarti itu bukanlah sebuah penelitian, benarkah? (Einstein)

Tuhan tidak bermain dadu di jagad raya ini. (Einstein)

Ada dua kemungkinan hasil percobaan: bila hasilnya sesuai dengan hipotesis berarti Anda telah melakukan sebuah pengukuran. Bila hasilnya berlawanan dengan hipotesis berarti Anda menemukan sebuah penemuan. (Fermi)

Kepakan sayap kupu-kupu di China mampu mendatangkan badai di Amerika, oleh karena itu mari kita ke China dan membasmi semua kupu-kupu, agar selamat. (Advent)

Meramal itu sulit, khususnya masa depan (Bohr)

Profesor “Hal itu telah lama diketahui”. Mhs. “ya karena itu saya tidak melihatnya di berbagai referensi”

Hilary “Obama maukah Anda menjadi calon wapres saya capresnya”. Obama “enak aja, yang menang aku koq”

Suatu ketika Albert Einstein sudah hampir menyelesaikan teorinya. Dia bersiap-siap untuk mempublikasikannya.Tetapi dia merasa sangat stress dengan pekerjaannya sehingga dia berencana pergi piknik ke Meksiko. Selama dua pekan dia menikmati hari-harinya. Di hari terakhir dia jalan-jalan di pinggir pantai untuk melihat matahari terbenam. Ketika melihat matahari mulai terbenam tiba-tiba dia berpikir soal cahaya matahai dan kecepatan cahayanya. Dalam teori yang dibuatnya dia telah melibatkan kecepatan cahaya namun belum memutuskan simbol apa yang akan digunakannya. Saat itu datanglah Senior Wensez dari arah yang berlawanan. Albert melihatnya dan berujar “do you not zink zat zee speed of light is very fast?” Kemudian Senior Wensez menarik napas dan menjawab “Si”. Itulah mengapa simbol kecepatan cahaya adalah “c”.

Atlet Primitif

Jon Koplo sebenarnya bukan atlet lari, tetapi warga sebuah desa di Cawas Klaten ini bisa disebut tukang lari. Pasalnya, pekerjaannya sehari-hari adalah pemburu rubah, sehingga bisa dipastikan larinya pasti banter biyanget. Bayangkan, ngoyak luwak saja bisa, apalagi oyak-oyakan sama manusia. Dengan alasan itulah Pak Kades menjagokan dirinya untuk ikut Lomba Lari Proklamaton se-Kecamatan Cawas pada tujuhbelasan tahun lalu.
Tanpa melalui Diklat dan macam-macam teori atletik, Jon Koplo langsung digelandang ke arena lomba. Bahkan karena waktunya yang terlalu mepet, Koplo belum sempat diberitahu aturan lomba segala. Pak Kades hanya berpesan, ”Plo, pokoke kowe mengko mung mlayu terus. Aja nganti mandheg.” (Plo pokoknya kamu lari terus jangan berhenti, jangan berhenti, ed.)
Jon Koplo yang (nuwun sewu) buta huruf itu hanya manthuk-manthuk saja. Ditawari untuk pakai sepatu pun Koplo tetap tidak mau. Karena sudah terbiasa lari cekeran, ia pun jadi peserta lomba paling primitif.
Setelah aba-aba dimulai dan bendera start sudah dikibarkan, Jon Koplo langsung mak plencing mlayu sipat kuping, sehingga membuat penonton dan peserta lain terheran-heran.
”Piye ta, lari jarak jauh kok langsung nggeblas? Harusnya kan pemanasan dulu,” ujar seorang penonton.
”Yoooh titenana, mengko oleh rong kilo rak ambruk,” timpal salah satu peserta.
Hanya dalam beberapa saat saja jarak Koplo dengan peserta di belakangnya sudah sejauh satu kilometer. Ketika peserta lain baru mencapai lima kilometer, Koplo malah sudah mbalik ke arah berlawanan, pertanda sudah mencapai dua kali lipat dengan jarak yang ditempuh lawan-lawannya. Meskipun tampak lemes dan keluar keringat sak brondong-brondong, Jon Koplo masih tetap saja ngetiging lari. Kakinya yang tanpa alas seperti tidak merasakan panasnya aspal.
Ketika peserta lainnya baru setengah main, Koplo sudah mendekati finish. Tetapi karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga, sesampai di garis finish Koplo langsung nggeblak saknalika alias tidak sadarkan diri. Pak Kades Tom Gembus harus menggotongnya ke Puskesmas.
Beruntung Jon Koplo tergolong orang kuat. Sebentar kemudian ia langsung sadar. Setelah ditraktir dua mangkok bakso oleh Pak Kades dan menghabiskan sebatang rokok, barulah juara dua masuk garis finish, disusul datangnya juara tiga. – Kiriman Sanglir Widoyo, Gowangsan RT 01/RW 02, Bawak, Cawas, Klaten 57463. Diambil dari harian Solo Pos.

Rrr… rampoook!!! Jon Koplo adalah anak yang tumbuh dan besar dengan budaya western-nya. Maklum, ayahnya seorang diplomat yang baru saja pulang berdinas dari Amerika. Maka pantas saja kalau ia tak tahu adat istiadat di desa tempat kelahirannya di Cepogo, Boyolali.
Beberapa waktu lalu, sohib kita ini disuruh ayahnya untuk nyekar ke makam kakeknya di Cepogo. Di sinilah terjadi peristiwa yang bikin ia trauma sekaligus kemekelen kalau mengingatnya.
Ceritanya, pagi-pagi benar Koplo sudah tiba di makam, setelah dari Jakarta transit semalam di rumah budenya, Lady Cempluk, di Cepogo. Karena pagi itu masih sepi, Koplo berjalan sendiri menuju ke cungkup makam keluarga yang berada di pojok permakaman.
Namun baru beberapa langkah memasuki permakaman, tiba-tiba Koplo didatangi empat orang pemuda yang membawa sabit semua.
”Wadhuh, celaka ini. Mereka pasti orang-orang jahat yang mau merampok saya,” batinnya sambil membayangkan film-film kriminal yang pernah ditontonnya.
Tanpa banyak pertimbangan Koplo langsung lari pontang-panting sampai jatuh bangun dan tersandung nisan segala. Rasa sakit di kakinya yang godres getih tidak ia rasakan. Yang penting selamat dari ujung sabit, pikirnya.
”Budhe… Budhe, saya tadi dihadang perampok, empat orang, pakai sabit semua,” wadulnya sambil krenggosan setiba di rumah budenya yang tidak begitu jauh dari permakaman.
”Ah, yang bener Plo. Di sini mana ada perampok. Biasanya aman-aman saja,” tutur budenya.
”Betul Bude! Begitu saya masuk kuburan, empat orang laki-laki buru-buru berdiri dan mencegat saya, senyum-senyum sambil membawa celurit,” eyel Koplo.
Dilapori begitu, Budhe Cempluk bukannya kaget malah tertawa. sebaliknya, justru Koplolah yang kaget.
”Itu bukan perampok, Plo. Mereka hanya bocah ngarit. Kerjaannya cari rumput untuk makanan kambing. Terkadang kalau ada orang yang mau nyekar, mereka nyambi membersihkan makam dan minta upah,” terang Budhe Cempluk sambil mesam-mesem.
”Ooo, begitu…” Koplo cuma bisa plonga-plongo sambil pringas-pringis menahan sakit. – Kiriman Edy Widodo, Jl Mastrip I/17 RT 04/RW 04, Jepun, Tulungagung 66218.

Mengapa Aku Harus Khutbah

Suatu ketika Nasrudin diundang untuk memberikan khutbah. Ketika dia sudah naik ke mimbar tampaknya orang-orang tidak begitu antusias, kemudian dia bertanya “apakah kalian sudah mengetahui apa yang akan aku bicarakan?” Para hadirin serentak menyahut, “belum”. “Kalau begitu apa gunanya aku berkhutbah?” dan dia terus pergi begitu saja.

Tentu saja para hadirin dibuat tercengang dengan ulahnya itu. Pada waktu berikutnya Nasrudin diundang lagi. Ketika di atas mimbar dia bertanya lagi kepada hadirin dengan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya dan dijawab oleh hadirin “ya..” Nasrudin berkata “nah kalau kalian sudah mengetahui apa yang akan aku bicarakan apa perlunya aku berkhutbah buang-buang waktu saja” dan dia terus pergi begitu saja. 

Hal ini membuat hadirin sungguh bingung. Pekan berikutnya Nasrudin diundang lagi dan menanyakan pertanyaan yang sama ke hadirin. Para hadirin sebagian menjawab “ya” dan sebagian lagi menjawab “belum”. Nasrudin berkata “nah kalau begitu yang sudah tahu harap memberitahu ke yang belum tahu” sambil meninggalkan mimbar.

   

 

One Response to “Humor Pelipur”

  1. Alex Says:

    Piye khabrmu lhe?
    Aku nyeluk awakmu lhe, sebab (mbokmenawa) awakmu kuwi ming sepantaran karo ponakan2ku. Awakmu ngerti KANDURACK ra? Yen ngerti, awakmu mestine seneng band2an, sebab ommu iki dedengkote deksemana. Ya wis diteruske wae anggonmu nulis lan nyebar khabar sing apik lan becik. Salam


Leave a comment