Di layar kaca mereka berjaya. Sesukses itukah mereka di panggung kehidupan? Kecenderungan yang muncul beberapa tahun belakangan menunjukkan para pendakwah muda makin disukai publik. Kerap kepopuleran ini bukan disebabkan oleh kadar keilmuan para ustad baru itu. Faktor yang lebih dominan bagi mereka ternyata justru penampilan atau gaya pengemasan materi. Popularitas mereka dibentuk oleh penampilan ketimbang pengetahuan. Dan media sebagai wahana berfokuskan tampilan, tak pelak memanfaatkan kesempatan dari para ustad ini sebagai sarana pemasaran.
Lihat saja misalnya Jeffry Al Buchori, Ary Ginandjar, Aa Gym, Yusuf Mansyur, Arifin Ilham dan sederetan anak-anak muda lainnya yang secara tiba-tiba menjadi ustad. Ciri khas mereka adalah lebih teduh dalam berkata-kata, dan juga terampil menggunakan media modern, seperti televisi, radio, dan media cetak sebagai sarana dakwah.
Dalam berdakwah, dai-dai muda tersebut menggunakan bahasa yang sama: tidak hitam-putih mengajak orang pada jalan Allah Swt, tidak mengguna-kan bahasa ancaman, menakuti-nakuti, suara yang dikeras-keraskan, dan hujatan terhadap orang lain yang tak sejalan. Mereka bicara dengan hati, mengaduk-aduknya, mengajak pada kebaikan dan menyebarkan Islam sebagai suatu agama rahmatan lil-alamiin.
Mungkin karena itu pula dakwah mereka dapat diterima semua gologan, tanpa sekat aliran, bahkan juga disukai kalangan non-Muslim. Setelah era Zainuddin MZ, pola dakwah memang berubah menyusul lahirnya ustad-ustad muda itu. Mereka berasal dari berbagai disiplin ilmu. Aa Gym, misalnya, tampil dengan manajemen qolbu. Begitu pula Arifin Ilham, yang membawa majelis dzikir; dan Yusuf Mansyur melalui wisata hati, yang salah satu unggulannya adalah sinetron Maha Kasih; atau Jeffry Al Buchori (Uje) yang lebih akrab dengan anak-anak muda gaul masa kini.
Sepintas, Aa Gym dan Ustad Arifin lebih senior ketimbang Uje. Mereka punya lembaga yang dijadikan bengkel akhlak. Aa Gym dengan Pesantren Daarut Tauhiid dan Ustad Arifin dengan majelis zikirnya. Sedangkan Uje baru merintis Majelis Mim, yang dikenal dengan pengajian “I like Monday”. Dalam berceramah, mereka punya gaya berbeda dengan Uje. Kalem, nada bicara datar, tapi sesekali juga bisa mengeluar-kan guyonan. Pengetahuan agamanya luas. Berbagai pertanyaan dari pemirsa pun dijawabnya dengan rujukan dalil-dalil. Yang pasti pula, mereka masih muda, dilihat dari penampilannya.
Uniknya, selain terampil menyampai-kan pesan dakwah dan keindahan Islam melalui media massa, tokoh-tokoh muda itu juga berhasil menggeluti dunia bisnis. Tak sedikit pundi-pundi emas yang bisa mereka raih dari jasa-jasanya memberi-kan pencerahan bagi orang lain. Tentu, ini tak lepas dari persoalan pencitraan.
Pencitraan Dai-Dai Muda
Masih ingat dengan kasus poligami Aa Gym? Kehebohannya bahkan sampai mengundang reaksi keras dari kepala negara dan jajaran pemerintahan. Aa Gym memang bukan orang pertama yang terungkap berpoligami. Sebelum dia, banyak tokoh terkenal yang diketahui melakukan poligami, dan masyarakat “tenang-tenang” saja. Reaksi terbesar paling banter berupa gosip dan rumor di belakang panggung.
Ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari strategi pencitraan atau branding, dan persepsi publik terhadap Aa Gym. Kepopuleran awal Aa Gym adalah akibat dari pencitraan yang ia bangun selama ini (baik secara sadar maupun tidak) sebagai sesosok pemuka agama yang berbeda dengan ulama lainnya. Ketika para ulama “konvensional” berdakwah tentang keutamaan salat, puasa, dan kemegahan surga, Aa Gym memilih untuk bercerita tentang pentingnya hati yang tulus, keluarga yang sakinah, dan masyarakat yang guyub dan saling membantu.
Bahasa yang digunakan pun bukan bahasa penuh ayat kitab suci, tapi bahasa sehari-hari yang ringan dan menyenang-kan. Dengan gaya begini, Aa Gym cepat sekali memikat hati orang-orang Indonesia kebanyakan, khususnya ibu-ibu rumah tangga yang umumnya agak kurang menyukai bahasa-bahasa berat. Dalam teori pemasaran, puncak keberhasilan pencitraan adalah bila sudah mendapatkan kata “asosiasi”. Hal ini berlaku juga di ‘pasar ustad’.
Kita lihat saja, misalnya, Uje yang mendapatkan asosiasi “ustad gaul” karena gaya bicaranya yang asik dan pas buat anak muda; Arifin Ilham dikenal sebagai “ustad nge-pop” karena sering berdakwah bersama grup band populer; dan tentu saja Aa Gym, karena topik bahasannya seputar keluarga dan audiensnya terkonsentrasi pada ibu-ibu rumah tangga, didapuk sebagai “ustad keluarga”, atau lebih spesifik lagi, “ustad keluarga bahagia.” Begitulah kira-kira pencitraan yang terjadi.
Ketika media mengumumkan bahwa Aa Gym telah melakukan poligami dan menikah lagi, bubarlah sudah predikat “ustad keluarga bahagia” itu. Pasalnya, poligami dalam persepsi kebanyakan masyarakat Indonesia diasosiasikan sebagai antonim dari “keluarga bahagia,” karena poligami dianggap sebagai simbol keretakan rumah tangga dan kegagalan interaksi suami-istri.
Oleh karena itu, para pemberi asosiasi alias para konsumen dakwah Aa Gym, yaitu ibu-ibu rumah tangga tadi, sambil nangis-nangis kecewa berusaha mencabut asosiasi ini dari Aa Gym dengan berbagai cara: dari mengirim SMS berantai, menulis di blog dan Surat Pembaca, menelepon ke stasiun TV, memboikot kunjungan ke Daarut Tauhid, sampai ikut turun jalan dan berdemo menentang poligami.
Pengaruh Media Televisi
Abdul Munir Mulkan melihat acara dakwah di televisi sudah menurun kualitasnya. “Yang penting sekarang bisa menghibur. Nasihat agama jadi sisipan saja,” kata guru besar Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu. Beberapa pakar Islam, seperti Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat, memang tak lagi tampil di layar kaca. Terkecuali ahli tafsir Quraish Shihab, yang masih mengasuh pengajian tafsir di Metro TV.
Kehadiran pendakwah sekaligus penghibur itu, menurut Munir, menjadi kritik bagi ulama dan organisasi keagamaan yang sudah mapan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. “Sebagai bukti mereka gagal berkomunikasi dengan umatnya,” kata penulis buku Syekh Siti Jenar itu. Sekaligus pelajaran bagaimana dakwah sukses disampaikan secara populer.
Namun, jika dakwah terlalu banyak menghibur, kata Munir, nilai edukatifnya bisa pudar. “Mestinya mereka menolong umat untuk kreatif menyelesaikan berbagai persoalan hidup,” ujarnya. Bukan hanya menghibur masyarakat yang tengah dilanda kesusahan. Tak salah orang tertawa kemudian terhibur.
Tapi harus dipikirkan bagaimana cara menggerakkan masyarakat agar bisa mengatasi masalah, misalnya soal kemiskinan. “Rakyat harus diingatkan bahwa kemiskinan produk dari kemalasan,” tutur Munir. Kemudian disajikan contoh-contoh sukses sehingga memberi inspirasi.
Ceramah agama di televisi yang memancing gelak tawa atau kesedihan memang merupakan bagian dari hiburan. Tentu bernilai komersial karena disukai pemirsa, juga pasti menangguk iklan banyak. Namun, patut dicatat bahwa acara sedemikian tidak sinkron antara metode dan tujuan dakwah. Tujuan dakwah adalah memahamkan Islam.
Masalahnya, ketika dakwah disampaikan lewat cara banyolan, audiens lebih menangkap banyolannya ketimbang substansi.
Kuncinya, harus dibangun kesadaran rasionalitas yang didukung keyakinan. Itulah yang disebut akidah. Dalam beragama, tak cukup menggunakan emosionalitas karena tak akan terbangun sistem berpikir yang baik. Berzikir pun hanya menjadi pelepasan emosi dan ketenangan pribadi. Padahal, agenda pengembangan umat jauh lebih penting untuk terus ditumbuhkan, demi membangun peradaban bangsa dan negara ini ke depan.
Siapa Dai yang Terpopuler?
Berbagai latar belakang tersebut mendorong tim litbang ADIL untuk melakukan jajak pendapat dari masyarakat di DKI Jakarta, untuk mengetahui siapa saja dai-dai yang masih populer, dan apa saja yang membuat mereka disukai khalayak ramai. Oleh karena itu, dijaringlah 250 orang responden yang tersebar dari seluruh wilayah DKI Jakarta. Dari data-data yang terkumpul secara sederhana itu lalu ditentukanlah siapa dai-dai muda yang “masih bergigi” hingga saat ini. Dan berikut adalah urutannya:
Jeffry Al Buchori
Ustad Jeffry Al-Buchori, atau yang akrab disapa Uje, terkenal dengan gaya gaul ala anak muda yang khas. Selain fasih melantunkan ayat-ayat al-Quran, ia juga pandai membuat contoh kisah yang dialami kaum muda. Materi dakwahnya selalu menghibur. Bahkan ia mempunyai jargon tersendiri, yaitu: “bercanda dalam hikmah.”
Terlahir di Jakarta pada 12 April 1973, Uje tumbuh di tengah keluarga religius. Ayahnya yang asli Ambon, H. Ismail Modal, terkenal keras mendidik kelima anaknya dalam soal agama. Sementara ibunya yang berdarah Banten, Tatu Mulyana, mengajarinya kasih sayang. Sejak kecil, Uje sudah menyukai ilmu agama dan kesenian.
Lewat media bernama televisi, nama Uje kian melambung. Terbukti, dari jajak pendapat, terlihat persentase masyarakat paling sering mengenalinya melalui televisi (sebanyak 95 persen). Uje disukai banyak orang karena isi ceramahnya tidak monoton, diselingi dialog-dialog ringan.
Bagi ayah dua anak ini, menggandeng media elektronik bukanlah untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kemaslahatan umat. “Itu pentingnya memanfaatkan sesuatu,” ujarnya.
Tapi yang paling membuat masyarakat terpikat adalah bagaimana Uje mengemas materi ceramahnya sedemikian rupa (terbukti dari jawaban 64 persen responden). Tak heran jika seorang jamaahnya, sebut saja Erna (21), mengaku tertarik dengan ceramah Uje karena lucu, pintar nyanyi dan ganteng. Cara penyampaiannya mudah sekali dipahami, dengan gaya bicara yang populer dan tak mengesankan diri sebagai orang yang sangat alim. Memang, ceramah Uje lebih cocok untuk anak-anak muda.
Meski penyampaiannya tegas, Uje “haram” mengucapkan sindiran pedas, apalagi menyentuh soal politik. Adapun untuk urusan materi dakwah, ia mengaku tak punya staf khusus. Karena, menurutnya, harus dibentuk dulu perusahaan seperti yang dimiliki oleh Aa Gym. “Mereka (para staf itu) kan mesti digaji,” katanya.
Arifin Ilham
Ustad M Arifin Ilham dilahirkan di Banjarmasin, 8 Juni 1969. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara yang semuanya perempuan. Ayahnya, H. Ilham Marzuki, masih merupakan keturunan dari Syeh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan. Sementara ibunya, Hj. Nurhayati, wanita asli Haruyan, Kabupaten Barabay.
Selain sebagai aktivis dakwah, Arifin pernah menjadi dosen di Universitas Borobudur. Sasaran dakwahnya terutama adalah kawula muda. Tak heran, jika sebagian besar acaranya dikemas dengan menggabungkan ceramah dan musik. Selain berceramah, Arifin juga sering memimpin zikir berjamaah di Masjid Al-Amru Bit-Taqwa, yang dia dirikan bersama para tetangganya di Perumahan Mampang Indah II, Depok.
Saat ia mengenalkan zikir berjamaah itu sekitar tahun 1997, jumlah jamaahnya hanya dua-tiga orang saja. Tapi ia terus berusaha meyakinkan orang-orang bahwa zikir berjamaah itu amat besar faedahnya. Setelah bertahun-tahun, aktivitas zikir di masjid itu mulai bertambah menjadi satu saf (sebaris salat, sekitar 15 orang), dua saf, dan akhirnya masjid pun dipenuhi jamaah zikir.
Televisi makin terbukti sebagai pesawat ajaib, terbukti sebanyak 91 persen responden mengaku mengenal Arifin melalui acara zikir di televisi. Arifin memahami benar keajaiban itu dan meraih limpahan berkah darinya. Belum dua tahun berselang ketika dia kali pertama tampil di layar televisi memulai “Indonesia Berzikir”, jamaah yang datang pun tak tertampung lagi di masjidnya. Majelis zikir yang diselenggarakan setiap awal bulan itu didatangi puluhan ribu jamaah.
Seorang jamaah bernama Syaefullah mengaku, zikir yang dibawakan Ustad Arifin sangat sederhana dan mudah dipahami semua orang. “Zikir beliau ini tidak terikat dengan pakem dan tarekat tertentu, hingga setiap orang bisa mengikuti. Cara berzikirnya juga mudah diikuti oleh orang awam sekalipun, karena setiap kali selalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Zikirnya pun bukan sekadar zikir, tapi ada muhasabahnya, yaitu usaha mengoreksi diri sendiri, hingga kita bisa langsung tersentuh.” Inilah mengapa sebanyak 25 persen responden menyukai Arifin karena keteladanannya. ¡
Yusuf Mansyur
Saat bulan Ramadhan lalu, aktivitas pimpinan Pondok Pesantren Daarul Quran Bulak Santri, Cipondoh, Tangerang ini semakin padat. Konon, dalam sehari Ustad Yusuf Mansyur paling tidak memberi tausiah di dua tempat yang berbeda. Bahkan pernah dalam sehari ia harus memberi ceramah di lima tempat sekaligus. Itulah mengapa sebanyak 89 persen responden sangat akrab dengan ustad berperawakan mungil ini.
Sosok muda ini memang sudah lama naik daun sebagai trainer dan motivator di dunia manajemen pengembangan diri dan pencerahan spiritual. Ceramahnya diminati oleh banyak pendengarnya dan telah memiliki jamaah setia di sekitar 11 provinsi. Ia juga pernah menjadi ‘Duta Dompet Dhuafa’ sebagai ustad muda penganjur sedekah. Ustad kelahiran 19 Desember 1976 ini memang selalu mengedepankan materi sedekah di setiap tausiahnya dalam program-program Wisata Hati Corporation.
Yusuf lahir dari keluarga Betawi terpandang. Perjalanan waktu membawanya berkesempatan menulis buku tentang wisata hati, ‘Mencari Tuhan yang Hilang’. Buku itu terinspirasi oleh pengalamannya di penjara saat rindu dengan orangtuanya, Abdurrahman Mimbar dan Humrif’ah. Tak ia bayangkan sebelumnya, buku itu mendapat sambutan yang luar biasa. Ia kerap diundang untuk acara bedah buku tersebut.
Dari sini, undangan berceramah mulai menghampirinya. Di banyak ceramahnya, ia selalu menekankan makna di balik sedekah dengan memberi contoh-contoh kisah dalam kehidupan nyata. Konsep sedekah pula yang membawanya masuk dunia sinema elektronik (sinetron). Melalui acara ‘Maha Kasih’ yang digarap Wisata Hati bersama SinemArt, ia menyerukan keutamaan sedekah melalui kisah nyata.
Melalui Wisata Hati, ia menyediakan layanan SMS Kun Fayakuun untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada. Ia juga menggagas Program Pembibitan Penghapal al-Qur’an (PPPA), sebuah program unggulan dan menjadi laboratorium sedekah bagi seluruh keluarga besar Wisata Hati. Donasi dari PPPA digunakan untuk mencetak penghapal al-Qur’an melalui pendidikan gratis bagi dhuafa Pondok Pesantren Daarul Qur’an Wisata Hati. ¡
Abdullah Gymnastiar
Pria kelahiran 29 Januari 1962 ini lebih enak dipanggil Aa (kakak), daripada sebutan Kyai. “Saya ingin akrab dengan semua lapisan masyarakat, kalau dipanggil Kyai sepertinya ada jarak,” ujar anak yang besar di lingkungan tentara dan pernah memimpin Resimen Mahasiswa di Universitas Ahmad Yani (Unjani) Cimahi ini.
Aa Gym dikenal terkenal dengan pembawaannya yang lucu dalam bercera-mah. Ia selalu menekankan sikap lemah lembut dan berpikir positif. Karirnya menanjak setelah berceramah di Masjid Istiqlal, Jakarta. Tema yang selalu diusung adalah pentingnya keluarga dan anjuran agar suami menghargai istrinya dan tidak berpoligami. Itulah sebabnya mengapa banyak orang mengidolakan Aa Gym karena keteladanan yang dipraktikkan dalam keseharian hidupnya (menurut 30 persen responden).
Karena tema yang dibawakan oleh Aa Gym bersifat umum dan ringan, maka ceramahnya didengarkan tidak saja oleh umat Islam, tetapi juga umat yang beragama lain karena sifatnya yang menghibur. Popularitas Aa Gym meningkat saat penampilannya mulai didukung oleh media, terutama televisi. Paling tidak, hal itu diakui oleh 87 persen responden yang sering mengikuti ceramahnya dari layar kaca.
Sebagai pengusaha, Aa Gym memanfaatkan kesempatan ini dengan baik, dengan mengomersilkan sumber daya yang dimilikinya, yaitu Pondok Pesantren Daarut Tauhid. Banyak rombongan dari dalam dan luar kota Bandung datang menggunakan bis, saat di sana diselenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Karena menjadi panutan masyarakat, Aa Gym menjadi “subyek iklan” yang baik. Ia pernah mendapat protes keras dari para penggemarnya saat ia tampil pada iklan layanan masyarakat tentang informasi kenaikan BBM. Namun, pada puncak kepopulerannya, ia mengumumkan pernikahannya yang kedua melalui konferensi pers.
Lantaran hal ini sangat bertentangan dengan hal-hal yang selalu ia anjurkan saat berceramah, maka masyarakat pun kehilangan kepercayaan pada dirinya. Daarut Tauhid berangsur-angsur secara drastis menjadi sepi pengunjung, dan penampilannya di layar kaca pun makin surut dan perlahan menghilang. Namun enam bulan setelah peristiwa itu, Daarut Tauhiid kembali ramai, walaupun Aa Gym tak lagi muncul di televisi.
Ia kini lebih fokus kepada perbaikan diri. Keberadaannya di Bandung pun sangat jarang, karena hampir tiap bulan mengantar Jamaah Manajemen Qalbu untuk umrah ke tanah suci. Bahkan pada bulan Ramadhan hampir dipastikan Aa Gym akan lebih lama di Mekkah. Tenyata, tidak semua jamaahnya membenci poligami. Bahkan, mereka yang rindu akan ceramahnya semakin hari semakin sering datang ke Daarut Tauhid. ¡
Othman Omar Shihab
Tak banyak yang bisa dikomentari dari dai satu ini. Yang jelas, sebagian besar responden (82 persen) cukup mengenalnya melalui media televisi. Sisanya yang mengaku kenal lewat radio, surat kabar, maupun pengajian, masing-masing hanya 6 persen. Hal menarik yang patut dicatat, ternyata selain isi ceramahnya berbobot (57 persen), dai ini mendapat sorotan karena keteladanannya yang tak diragukan (31 persen).
Bahkan keteladanannya itu mengungguli Aa Gym. Tak mengherankan kalau artis Ratih Sang pernah mengatakan bahwa keputusannya mengenakan jilbab salah satunya terdorong oleh nasihat Ustad Othman untuk membahagiakan kedua orangtua dengan menjadi anak yang saleh. “Doa anak yang saleh akan langsung diterima oleh Allah. Kalau ingin doa saya untuk bapak diterima, maka harus menjadi anak yang saleh,” ujar Ratih mengutip isi pengajian yang disampaikan Ustad Othman.
Bisa jadi, predikat “ustad keluarga bahagia” berpindah dari tangan Aa Gym ke dirinya. Karena selain selalu menasihati tentang pentingnya kerukunan keluarga, Ustad Othman selalu menekankan agar para orangtua bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya dengan membentuk keluarga yang sakinah. Dalam ceramahnya, ia selalu menganjurkan perlunya menanamkan nilai-nilai keislaman sedini mungkin, sehingga dalam keseharian anak-anak bisa berpedoman kepada nilai-nilai agama tersebut
“Memang orangtua sudah memiliki konsep sendiri tentang mendidik anaknya, Namun, orangtua harus membuka wawasannya terhadap perkembangan-perkembangan kelakuan si anak yang mestinya bisa dipahami orangtua. Artinya, dalam mendidik anak harus ada sinkronisasi antara sekolah dan orang tua di rumah,” ujarnya.
http://www.adilnews.com/?q=en/jajak-pendapat-dai-muda-terpopuler-dakwah-popularitas-dan-televisi
Recent Comments