Agung Inspirasi

Visi-Visi Pencerahan

Pilpres, ikut PKS atau kelompok Islam lain? June 23, 2009

Filed under: Opini — ainspirasi @ 9:01 am
Tags: , , ,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dalam pemilihan presiden nanti, akan ada 3 pasangan calon presiden serta wakil. Namun dalam hal penentuan pilihan membuat sebagian orang bingung. Di satu sisi PKS yg terkenal sangat islami dan teguh memegang nilai-nilai Islam mendukung dan mengarahkan pendukung nya untuk memilih SBY-Budiono. namun di lain sisi, kelompok islam yg lain mengarahkan dukungannya ke JK-Wiranto, bahkan ada kelompok yg mengharamkan untuk memilih SBY-Budiono.

jadi pak ustat, siapakah yg harus diikuti?

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ardi Sofian

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salah satu bentuk ikhtilaf umat Islam Indonesia hari ini adalah ijtihad politik mereka dalam memilih presiden. Suara umat Isalm terpecah kepada tiga calon pasangan presiden. Bukan apa-apa, karena tiga pasangan itu semuanya memang beragama Islam.

Dengan pengecualian Megawati yang perempuan, dimana umumnya umat Islam memandang bahwa seorang wanita tidak pada posisi untuk menjadi pemimpin tertinggi (al-wilayah al-uzhma) dalam struktur kepemimpinan negara.

Karena alasan itulah pada masa sebelumnya, kekuatan poros tengah yang dimotori kekuasan ‘islam’, menolak kalau presidennya Megawati, dan rela dipimpin oleh Abdurrahman Wahid. Walau kemudian mereka juga yang menggulingkan presiden yang akrab dipanggil Gusdur itu.

Kalau Megawati tidak masuk hitungan, tinggal dua pasang calon, yaitu SBY dan wakilnya, serta JK dan wakilnya. Kedua pasangan ini jelas laki-laki, muslim, akil, baligh. Artinya secara syar’i, tidak ada kendala untuk dijadikan pemimpin. Lepas dari urusan lain yang barangkali kita tidak tahu. Tapi secara zhahir, itulah yang kita lihat.

Tinggal  perhitungan yang bersifat tambahan atau accesoris saja. Misalnya tentang masalah kepentingan. Urusan dukung mendukung capres, pasti kan ada imbalannya.

Ilustrasinya, kalau saya mendukung SBY, karena saya punya massa, maka saya akan bikin hitung-hitungan dengan SBY, minimal saya dijanjikan dapat apa. Begitu juga kalau saya mendukung JK lantaran saya punya kekuatan tertentu, maka JK pasti akan menawarkan ‘imbalan’ kepada saya.

Politik balas budi di iklim bernegara di negeri kita memang sudah begitu. Orang-orang umumnya tidak pernah membahas hal-hal yang lebih teknis, misalnya kalau SBY atau JK yang jadi presiden, seperti apa bentuk teknis yang rinci dan masuk akal serta feasible untuk menyelesaikan utang negara yang bertumpuk, atau mengatasi kendala kepungan pasar bebas yang diterapkan negara lain, atau bagaimana paket teknis untuk mengatasi kemiskinan struktural di tengah bangsa.

Sayangnya, debat-debat capres yang kita lihat melulu berhenti pada tingkat orasi dan silat lidah. Apalagi tidak melibatkan orang-orang ahli di bidangnya yang tahu persis kendala tiap masalah.

Jadi dalam pandangan saya, agak terlalu dangkal pertimbangan kita untuk bisa berfikir, siapakah dari mereka yang layak untuk dijadikan presiden.

Tapi lebih kasihan lagi adalah rakyat jelata yang tidak pernah diajak melihat pertimbangan-pertimbangan logis dan masuk akal. Mereka ini bisa saja sebuah jamaah pengajian, yang kalau pimpinan pengajian itu mendukung SBY, ya mereka tinggal amin saja. Dan kalau berubah jadi pilih JK, mereka juga amin saja.

Mereka bisa juga anggota ormas, partai, forum, kelompok, atau apa pun. Umumnya mereka tidak pernah diajak berpikir dan menganalisa. Yang dibutuhkan dari mereka memang bukan hasil pikiran atau analisa. Yang dibutuhkan dari mereka cuma suara. Lalu suara itu ‘ditawar-tawarkan’ kesana kesini kepada para kandidat presiden dan pasangannya. Tentu tawaran yang bukan gratisan, tetapi dengan ‘imbalan’ dalam bentuk apa saja.

Imbalannya mulai dari jabatan menteri yang memang masih dianggap empuk, atau dapat jabatan ini dan itu, atau hak akses kepada penguasa tertinggi, atau hak untuk mendapat proyek-proyek yang menggiurkan.

Ikut PKS Apa Tidak?

Kalau pertanyaannya seperti itu, ikut PKS apa tidak, jawabannya tergantung dari kepada siapa antum bertanya. Kalau tanya kepada aktifis PKS, tentu jawabannya harus, kudu, musti, wajib dan sejenisnya. Alasannya?

Karena sudah ditaklimatkan, sudah diinstruksikan oleh struktur di atasnya. Kalau masih mau dianggap sebagai kader, suka tidak suka, rela tidak rela, harus patuh pada taujih dari ‘atas’.

Kalau mbalelo alias mau jalan sendiri, atau berani-berani berijtihad sendiri, bisa-bisa kena iqob (hukuman) dengan berbagai macam bentuk. Karena itu kalau antum kader PKS, tidak perlu bertanya seperti ini. Buat kader PKS, urusan memlih presiden sudah bukan urusan pribadi lagi, tapi sudah jadi urusan para ‘qiyadah’. Kalau qiyadah bilang A, ya harus A. AKlau qiyadah bilang B, ya harus B.

Tapi kalau antum tanya kepada para aktifis di kalangan Forum Kader Peduli (FKP), mungkin akan lain lagi hasilnya. FKP ini sebenarnya kader PKS juga, tapi yang lebih kritis dan rada vokal untuk didikte begitu saja oleh para qiyadahnya. Di dalam tubuh FKP ini sebenarnya ada beberapa tokoh pediri dan penggagas PKS atau PK di masanya. Jumlahnya memang tidak banyak kalau dibandingkan dengan jumlah anggota Majelis Syuro atau kader yang masih taat, tapi lumayan menarik perhatian lantaran FKP ini menjadi seperti anti thesis dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan para qiyadah yang resmi.

Sebagian kader yang merasa gerah dengan kebijakan pimpinan resmi, ada juga yang ikut ke FKP ini. Beberapa tempat pengajian di Jakarta dan Depok sering digunakan oleh FKP untuk menyampaikan kritik mereka walau pun dikemas dengan bentuk pengajian.

Nah, kalau antum bertanya kepada mereka, besok pilpres milih siapa, boleh jadi jawabannya tidak sama dengan taklimat dari PKS yang resmi. Tentu ada banyak pertimbangan yang bisa digelar dan diadu argumentasikan.

Sikap Bijaksana Saat Suara Umat Terpecah

Lepas dari perbedaan ijtihad dari berbagai kalangan umat Islam, termasuk perbedaan pandangan antara PKS dan FKP, kita sebagai umat Islam yang awam, jujur, lugu, polos dan juga menginginkan kebaikan, tentu harus punya ekstra kesabaran.

Sabar untuk melihat perbedaan dari saudara-saudara kita. Sabar untuk tidak ikut terjebak dalam perdebatan dan silat lidah serta adu retorika. Sabar untuk tidak  terpancing untuk ikut bermusuhan dengan sesama muslim, apalagi saling mencaci, memaki, menjelekkan, berghibah, atau menghasud.

Saya pribadi lebih mengkhawatirkan perpecahannya ketimbang siapa yang nantinya jadi presiden. Sebab perpecahan itu adalah sebuah kerugian besar buat umat. Persaudaraan adalah anugerah Allah yang mahal harganya, tidak sebanding dengan janji-janji anugerah dari kandidat presiden bila kita mendukungnya.

Jangan sampai gara-gara memilih satu pasanga kandidat, kita malah mengorbankan persaudaraan kita yang jauh lebih berharga. Buat saya, ada satu komentar usil untuk urusan ini : ’sudahlah, yang waras ngalah saja’.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc