Agung Inspirasi

Visi-Visi Pencerahan

Fatwa Hari Raya Idul Adha December 16, 2007

Filed under: Fatwa — ainspirasi @ 4:03 am

oleh ISNA (Ormas Islam Amerika)

Umat Muslim Amerika seperti juga umat lain di dunia berbeda pandangan tentang Idul Adha. Sebagian berpendapat bahwa tanggal 10 Zulhijah harus didasarkan pada tanggalan masing-masing Negara dan sebagian lagi mengikuti Mekah dalam merayakan hari Arafah. Setelah mengkaji dan mempertimbangkan berbagai hal, Consil mengambil kesimpulan bahwa Idul Adha harus mengikuti ketentuan Hari Haji di Mekah. Kesimpulan ini sama dengan kesimpulan Fatwa Dewan Eropa (EFCR). Berikut ini adalah penjelasan singkat dari keseluruhan pembahasan masalah ini. Bagi yang ingin lebih detail silakan lihat di website EFCR.

Urusan Haji sudah sangat tua yaitu sejak nabi Ibrahim AS. Ibadah Haji sangat terkenal di dunia Arab jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Nabi sendiri pun melaksanakan ibadah Haji sebelum menerima Nubuwah kenabian. Nabi SAW juga bahkan melaksanakan puasa Ramadhan sebelum menerima wahyu Quran. Di bulan Ramadhan beliau menerima wahyu Quran pertama di Gua Hira. Beliau memulai melaksanakan dua Hari Raya Id setelah hijrah ke Madinah sebagai lambang permulaaan dan berakhirnya musim Haji.

Bulan Haji diawali pada hari pertama bulan Shawal dan berakhir dengan Wukuf di padang Arafah. Itulah mengapa Nabi SAW melakukan dua perayaan untuk memperingati awal dan akhir musim Haji, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Ibnu Taimiyah. Bahkan bulan Zulhijah dikenal dengan nama bulan Haji. Quran dan sunah sangat mengagungkan 10 hari pertama bulan Zulhijah. Sepuluh hari di awal bulan Zulhijah sangat mulia karena erat kaitannya dengan ibadah Haji. Oleh karena itu kedua Hari Id tidaklah berdiri sendiri, mereka memiliki kaitan dengan beberapa kewajiaban dalam Islam seperti puasa dan ibadah ke Mekah. Nabi SAW telah dibimbing oleh Allah untuk memilih dua hari raya ini sebagai hari Id dikarenakan ia memilki kaitan yang erat dengan peribadahan lainnya dalam Islam yaitu puasa dan Ibadah Haji.

Ayat-ayat berutan dalam surat Al-Baqarah (2:183-203) dapat dianggap sebagai penjelasan dalam hal Ibadah Haji. Pertama, Quran menjelaskan kewajiban puasa kemudian menjelaskan tata caranya. Perintah berkurban pada intinya ditujukan untuk jamaan Haji dan umat Muslim keseluruhan. (Surat Haji 22:28,36) Bahkan Takbir di hari Tasrik pada awalnya ditujukan pada jamaah Haji. Umumnya umat Muslim mengikuti perintah ini. Banyak ulama-ulama jaman dulu mengkaitkan ritual Idul Adha dengan perayaan Haji. Ibnu Taimiyah misalnya memiliki pandangan tersendiri. Beliau mengatakan bahwa menyembelih binatang awalnya dilakukan di Mina dan semua tempat lainnya harus mengikuti Mekah. Itulah mengapa Idul Adha lebih mulia pada kedua hari Raya Id. Disebut hari Nahr dan Haji Akbar karena Hari Id terkait dengan waktu dan tempat berkurban. Ulama beraliran Hambali Hafiz Ibnu Rajab menerangkan bahwa sholat Idul Adha harus dilaksanakan dalam kaitannya dengan berpindahnya Jamah Haji dari Muzdalifah ke Mina. Imam Ahmad bin Hambal menganjurkan pelaksanaan sholat Idul adha disesuaikan dengan bergeraknya Jamaah Haji dari muzdalifah ke Mina dan melempar kerikil. Imam Ahmad dengan jelas menyatakan kaum Muslim umumnya harus mengikuti bergeraknya jamaah Haji.

Imam al-Baghawi menyatakan bahwa Ibnu Abbas, Imam Malik, dan Imam Shafeí berpendapat umat Muslim di seluruh dunia sebaiknya mengikuti waktu Haji di mekah beserta Tasriknya. Imam al-Khazin memegang pendapat ini demikian juga dengan Ibnu Umar. Imam al-Zarkhazi meriwayatkan bahwa Imam Shafeí dan Abu Yusuf memiliki pandangan yang sama. Ini menunjukan ahli-ahli fiqih terkemuka sependapat agar umat Muslim di seluruh dunia harus mengikuti waktu jamaah Haji di Mekah beserta hari-hari Tasrikya.

Meskipun ada pendapat lain tentang waktu yang tepat untuk Takbir pada hari Tasrik, sumber-sumber yang telah disebutkan di atas menjadi petunjuk bahwa banyak ulama mengaitkan sholat Id, Qurban, dan Takbir di hari Tasrik berada satu rangkaian dengan apa yang dilakukan oleh Jamaah Haji. Sehingga tidak ada alasan mengatakan Hari Raya Idul Adha berdiri sendiri, terlepas dari Ibadah Haji dan boleh ditetapkan secara lokal. Dari keterangan para ulama dan dari keterangan sejarah diketahui sebaliknya bahwa Idul Adha adalah merupakan satu rangkaian dengan Ibadah Haji. Idul adha sangat terkait dengan tempat dan waktu berqurban.

Selama 10 hari bulan Zulhijah, pelakasanaan Ibadah Haji dan kegiatan jamaah Haji di sekitar Mekah menjadi puncak kegiatan umat Islam di seluruh dunia. Banyak ulama telah mengatakan Hari Arafah dan Hari Raya Idul Adha ditentukan oleh keberadaan Jamaah Haji di Arafah dan disembelihnya binatang Qurban. Beberapa ulama memandang ibadah Haji adalah sesuatu yang khusus; tetapi sebagian lagi berpendapat ketentuan ini berlaku umum untuk semua umat Muslim. Beberapa ulama bahkan berpendapat ketentuan ini tetap berlaku meskipun pada saat itu Jamaah Haji melakukan kesalahan yaitu berkumpul pada hari yang salah, misalnya telat sehari atau cepat sehari dari 9 Zulhijah yang sebenarnya. Ini merupakan pandangan mayoritas ulama. Imam Ibnu Taimiyah meriwayatkan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kesatuan Idul Adha. Tidak ada seorang ulamapun membolehkan seseoang yang melihat bulan boleh pergi wukuf ke Arafah atau menyembelih binatang qurban sendirian berdasarkan penglihatannya itu. Seseorang harus pergi bersama imam dan umat Muslim lainnya. Ibnu Rajab al-Hanbali bahkan lebih dari itu. Dia seperti juga yang lain, ulama Maliki dan Shafe’i menyimpulkan bahwa hari Arafah tidak mesti tepat 9 Zulhijah tetapi berdasarkan berkumpulnya kaum Muslim di Arafah. Seperti juga di Hari Raya Idul Adha tidak mesti tepat 10 Zulhijah tetapi boleh setelah itu bila ternyata harinya salah. Ini berdasarkan hadist Nabi SAW “Idul Fitri yaitu ketika kamu membatalkan puasa dan Idul Adha ketika kamu menyembelih binatang”

Oleh karena itu Idul Adha bukannya tidak berhubungan dengan wukuf di Arafah dan Ibadah Haji seperti yang saat ini diyakini oleh para cendekiawan. Ibadah Haji dan Idul Adha sangat erat kaitannya. Kedua Hari Raya itu tidak dijelaskan oleh Rasulullah melainkan dijelaskan dengan konteksnya. Keduanya berhubungan yaitu mengakhiri Ramadahan dan mengakhiri Ibadah Haji. Nabi SAW memulai bulan baru dengan melihat bulan karena pada saat itu itulah cara yang tersedia sebagai alat konfirmasi. Selama delapan tahun pertama tahun Hijrah beliau tidak melaksanakannya berdasarkan pada hasil penglihatan bulan di Mekah yaitu ketika Ka’bah dikuasai oleh kaum musyrikin yang tidak peduli dengan Ibadah Haji. Pada saat itu syariah tidak meminta kaum Muslimin mengetahui dengan tepat tanggal ibadah Haji dan Arafah untuk menghindari ancaman pada Umat. Namun demikian jelaslah ketika umat Muslim mampu mengetahui dengan tepat hari Wukuf Arafah, mereka dianjurkan untuk berpuasa dan merayakan Hari Raya Id dan menyembelih binatang pada hari berikutnya. Alasannya adalah adanya pahala yang besar disebabkan pelaksanaannya dilakukan bersama dengan umat muslim yang sedang berkumpul dan melaksanakan Ibadah Haji melebihi pahala perayaan Id atau sholat Id itu sendiri.

Perlu juga diketahui bahwa tidak ada teks-teks yang jelas menganjurkan semua kaum Muslimin merayakan Hari Raya Idul Adha setelah pelaksanaan Ibadah Haji. Banyak sekali sumber-sumber tak langsung dalam Quran dan Sunah yang mengaitkan perayaan Hari Raya dengan Ibadah Haji dan Wukuf. Lebih lanjut, tidak terdapat di Quran atau Sunah atau dalam kitab-kitab fiqih bahwa Nabi SAW dan para sahabat atau ulama telah melakukan hal yang bertentangan pengumuman Wukuf Arafah oleh pihak berwenang. Untuk diingat, Ibadah Haji adalah pernyataan kesatuan umat Islam. Ia memiliki sisi politis disamping sisi sosial. Aspek ini hanya dapat dipenuhi bila Umat Muslim dipersatukan dengan pandangan yang sama yaitu pemahaman tentang Ibadah Haji yang sedang dilakukan. Oleh karena itu, dalam penjelasan ini tidak dibenarkan, dengan pertimbangan fiqih, untuk melaksanakan yang berbeda dengan Hari Haji. Menjadi jelas bahwa merayakan hari Raya bersama dengan Hari Haji (di Mekah) lebih bermanfaat ketimbang merayakan Hari Raya Idul Adha yang berbeda dengannya.

dikutip dari: http://www.isna.com/events/Special-Announcement/Fiqh-Council-of-North-America-Statement.aspx

 

Leave a comment